Integrasi ekonomi masyarakat Asia Tenggara sudah dimulai.
Yang kuatir tinggallah kuatir. Berbagai catatan negatif berlakunya
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA bagi kemajuan kepentingan nasional juga
sudah banyak diberikan.
Misalnya Indonesia yang berpenduduk terbesar hanya menjadi pasar
konsumtif dan sumber daya alamnya yang melimpah hanya menjadi ladang
eksploitasi investasi asing yang tidak menguntungkan rakyat Indonesia
sebagaimana harapan pada Pasal 33 UUD 1945. Kekhawatiran ini disadari
karena kenyataan bahwa sumber daya manusia Indonesia yang rendah dan
hampir tidak ada industri nasional yang kuat saat ini bahkan disektor
primer yaitu pangan dan sandang. Terlebih, integrasi ekonomi ASEAN ini
tidak didasarkan pada solidaritas yang memungkinkan setiap Negara yang
bergabung di dalamnya untuk saling (tolong-menolong) mengembangkan
kemampuan kreatifnya tetapi lebih pada perluasan kapital atau dagang
sehingga yang berkapital besarlah yang akan terus hidup dan mengambil
keuntungan. Presiden Joko Widodo hampir selalu menekankan bahwa inilah
era kompetisi alias persaingan: yang kuat dan cepatlah yang akan
memenangi kehidupan.
Adakah kemungkinan kerja-sama proyek ekonomi bersama demi kemajuan
masyarakat ASEAN sebagaimana juga dilihat Dawam Rahardjo? Sebab “Jika
daya saing perusahaan MEA tidak meningkat, MEA hanya akan dimanfaatkan
oleh kekuatan regional lainnya, khususnya Asia Timur (Dawam Rahardjo,
MEA: Kerja Sama atau Persaingan, Kompas, 20 Januari 2016).
Integrasi ekonomi Asia Tenggara dalam pasar tunggal bernama MEA itu
pun dikuatirkan akan semakin menghancurkan potensi kemampuan kreatif
Indonesia dalam berproduksi dan membangun ekonomi nasional yang selama
ini juga tak beranjak dari pola perekonomian di jaman kolonial. Kita
masih menjual bahan-bahan mentah ke luar negeri dan membanjiri
barang-barang konsumsi dalam negeri dari luar negeri. Pembangunan
infrastruktur tampaknya tidak untuk memperkuat Industri Dasar yang
memungkinkan kita mengolah sumber daya alam kita sendiri sebagaimana
konsepsi pasal 33 UUD 1945 tetapi lebih pada kecepatan alat transportasi
alias pengangkutan barang-barang impor dan ekspor yang menghamba pada
investasi asing. Pembangunan Kereta Cepat Bandung Jakarta pun
mengingatkan pembangunan jalan raya Anyer – Panarukan Deandels yang
dibangun untuk mempercepat pengangkutan logisitik dan tentara dalam
rangka melawan Inggris.
Memang tidak ada yang bisa disalahkan kemudian bila setiap Individu
atau Negara ingin memperoleh kemajuan ekonomi dan memandang MEA sebagai
peluang.
Secara historis, pengintegrasian kehidupan ekonomi di Asia Tenggara
selalu diusahakan apalagi mengingat misalnya luasnya Kerajaan Sriwijaya
atau Majapahit yang meliputi sebagian besar wilayah Negara-negara yang
bergabung dalam ASEAN saat ini. Begitulah secara geopolitik, kemudian
dikenal wawasan nusantara sebagai cara memandang kehidupan
kenasionalan dalam berbagai segi seperti ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Dalam konsepsi inilah bisa
dipahami jika kemudian muncul gagasan Ekpedisi Pamelayu dari Kertanegara
dalam rangka membendung ekspansi Khu Bilai Khan demi mengamankan
dirinya sendiri, Kerajaan Singhasari dan Nusantara sebagai benteng luar
dan ajakan Persatuan melawan kemungkinan penaklukan dan penjajahan
bangsa-bangsa di Nusantara.
Dengan begitu terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dalam hal
tertentu bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Diberlakukannya pasar
tunggal di Asia Tenggara dengan kurang lebih 600 juta penduduk di
dalamnya itu memungkinkan berbagai segi peluang kehidupan di Asia
Tenggara bisa dikembangkan lebih optimal. ASEAN yang ber”sepakat” untuk
pengintegrasian kerja sama ekonomi ASEAN dalam pasar tunggal itu dalam
kenyataannya mempunyai perbedaan yang tajam dalam latar budaya politik
maupun kebudayaan. Misalnya Vietnam yang tidak phobia dan tidak alergi
dengan kosa kota dan atribut komunis itu barangkali bisa mencairkan
phobia komunisme di Asia Tenggara, lalu Malaysia dengan kebudayaan Islam
dan Melayu, Philipina dengan kekatolikannya dan Thailand dengan
kebudhaannya. Semua perbedaan ini bisa dicairkan dalam rangka titik
temu pencapaian ekonomi maju atas nama komunitas Asia Tenggara. Sesuatu
yang mungkin tetapi dengan tanda tanya besar.
Walau begitu kita selalu melihat dalam sejarah bagaimana penyatuan
dan usaha bersatu di Asia Tenggara selalu diusahakan. Dalam kerangka itu
bahkan menghasilkan bahasa pergaulan (lingua franca) yang sederhana
untuk saling berhubungan, saling mengerti, pun menyebarkan kerohanian
yang bagi kita, Bahasa Melayu yang menjadi dasar bahasa pergaulan itu
kemudian menjadi bahasa nasional kita: Bahasa Indonesia.
Di dalam MEA, Bahasa Indonesia yang egaliter, indah, mudah dan
sederhana itu menemukan tantangan untuk hidup dan berkembang. Setiap
pekerja dan pelajar Indonesia bisa menjadi utusan dari keindahan Bahasa
Indonesia dan setiap orang asing yang bekerja di Indonesia berpeluang
memahami Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan begitu Bahasa Indonesia
bisa menjadi bahasa persatuan komunitas Asia Tenggara.
Pada hari ini, Bahasa Inggris pun mendapatkan tempat di Asia Tenggara
sebagai bahasa pergaulan. Semua pojok tempat termasuk di Indonesia
menawarkan jasa untuk melatih lidah Melayu Anda untuk bisa juga bersilat
lidah ala Eropa khususnya Inggris. Walau begitu Bahasa Indonesia tidak
perlu berkecil hati berhadapan dengan Bahasa Inggris di Asia Tenggara.
Dari sejarah bahkan Bahasa Melayu tidak takluk terhadap Bahasa Arab yang
pada masa keemasannya ketika sampai di Asia Tenggara, penyebaran Islam
pun tidak menggunakan mutlak Bahasa Arab, tetapi juga menggunakan Bahasa
Melayu.