Maret 07, 2016

MEA dan Bahasa Indonesia

Integrasi ekonomi masyarakat Asia Tenggara sudah dimulai. Yang kuatir tinggallah kuatir. Berbagai catatan negatif berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA bagi kemajuan kepentingan nasional juga sudah banyak diberikan.
Misalnya Indonesia yang berpenduduk terbesar hanya menjadi pasar konsumtif dan sumber daya alamnya yang melimpah hanya menjadi ladang eksploitasi investasi asing yang tidak menguntungkan rakyat Indonesia sebagaimana harapan pada Pasal 33 UUD 1945. Kekhawatiran ini disadari karena kenyataan bahwa sumber daya manusia Indonesia yang rendah dan hampir tidak ada industri nasional yang kuat saat ini bahkan disektor primer yaitu pangan dan sandang. Terlebih, integrasi ekonomi ASEAN ini tidak didasarkan pada solidaritas yang memungkinkan setiap Negara yang bergabung di dalamnya untuk saling (tolong-menolong) mengembangkan kemampuan kreatifnya tetapi lebih pada perluasan kapital atau dagang sehingga yang berkapital besarlah yang akan terus hidup dan mengambil keuntungan. Presiden Joko Widodo hampir selalu menekankan bahwa inilah era kompetisi alias persaingan: yang kuat dan cepatlah yang akan memenangi kehidupan.
Adakah kemungkinan kerja-sama proyek ekonomi bersama demi kemajuan masyarakat ASEAN   sebagaimana juga dilihat Dawam Rahardjo? Sebab “Jika daya saing perusahaan MEA tidak meningkat, MEA hanya akan dimanfaatkan oleh kekuatan regional lainnya, khususnya Asia Timur (Dawam Rahardjo, MEA: Kerja Sama atau Persaingan, Kompas, 20 Januari 2016).
Integrasi ekonomi Asia Tenggara dalam pasar tunggal bernama MEA itu pun dikuatirkan akan semakin menghancurkan potensi kemampuan kreatif Indonesia dalam berproduksi dan membangun ekonomi nasional yang selama ini juga tak beranjak dari pola perekonomian di jaman kolonial. Kita masih menjual bahan-bahan mentah ke luar negeri dan membanjiri barang-barang konsumsi dalam negeri dari luar negeri. Pembangunan infrastruktur tampaknya tidak untuk memperkuat Industri Dasar yang memungkinkan kita mengolah sumber daya alam kita sendiri sebagaimana konsepsi pasal 33 UUD 1945 tetapi lebih pada kecepatan alat transportasi alias pengangkutan barang-barang impor dan ekspor yang menghamba pada investasi asing. Pembangunan Kereta Cepat Bandung Jakarta pun mengingatkan pembangunan jalan raya Anyer – Panarukan Deandels yang dibangun untuk mempercepat pengangkutan logisitik dan tentara dalam rangka melawan Inggris.
Memang tidak ada yang bisa disalahkan kemudian bila setiap Individu atau Negara ingin memperoleh kemajuan ekonomi dan memandang MEA sebagai peluang.
Secara historis, pengintegrasian kehidupan ekonomi di Asia Tenggara selalu diusahakan  apalagi mengingat misalnya luasnya Kerajaan Sriwijaya atau Majapahit  yang meliputi sebagian besar wilayah Negara-negara yang bergabung dalam ASEAN saat ini. Begitulah secara geopolitik, kemudian dikenal   wawasan nusantara sebagai cara memandang kehidupan kenasionalan dalam berbagai segi seperti  ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Dalam konsepsi inilah bisa dipahami jika kemudian muncul gagasan Ekpedisi Pamelayu dari Kertanegara dalam rangka membendung ekspansi Khu Bilai Khan demi  mengamankan dirinya sendiri, Kerajaan Singhasari dan Nusantara sebagai benteng luar dan ajakan Persatuan melawan kemungkinan penaklukan dan penjajahan bangsa-bangsa di Nusantara.
Dengan begitu terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)  dalam hal tertentu bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Diberlakukannya pasar tunggal di Asia Tenggara dengan kurang lebih 600 juta penduduk di dalamnya itu memungkinkan berbagai segi peluang kehidupan di Asia Tenggara bisa dikembangkan lebih optimal. ASEAN yang ber”sepakat” untuk pengintegrasian kerja sama ekonomi ASEAN dalam pasar tunggal itu dalam kenyataannya mempunyai perbedaan yang tajam dalam latar budaya politik maupun kebudayaan. Misalnya Vietnam yang tidak phobia dan tidak alergi dengan kosa kota dan atribut komunis itu barangkali bisa mencairkan phobia komunisme di Asia Tenggara, lalu Malaysia dengan kebudayaan Islam dan Melayu, Philipina dengan kekatolikannya dan Thailand dengan kebudhaannya. Semua perbedaan ini bisa  dicairkan dalam rangka titik temu pencapaian ekonomi maju atas nama komunitas Asia Tenggara. Sesuatu yang mungkin tetapi dengan tanda tanya besar.
Walau begitu kita selalu melihat dalam sejarah bagaimana penyatuan dan usaha bersatu di Asia Tenggara selalu diusahakan. Dalam kerangka itu bahkan menghasilkan bahasa pergaulan (lingua franca) yang sederhana untuk saling berhubungan, saling mengerti, pun menyebarkan kerohanian yang bagi kita, Bahasa Melayu yang menjadi dasar bahasa pergaulan itu kemudian menjadi bahasa nasional kita: Bahasa Indonesia.
Di dalam MEA, Bahasa Indonesia yang egaliter, indah, mudah dan sederhana itu menemukan tantangan untuk hidup dan berkembang. Setiap pekerja dan pelajar Indonesia bisa menjadi utusan dari keindahan Bahasa Indonesia dan setiap orang asing yang bekerja di Indonesia berpeluang memahami Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan begitu Bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa persatuan komunitas Asia Tenggara.
Pada hari ini, Bahasa Inggris pun mendapatkan tempat di Asia Tenggara sebagai bahasa pergaulan. Semua pojok tempat termasuk di Indonesia menawarkan jasa untuk melatih lidah Melayu Anda untuk bisa juga bersilat lidah ala Eropa khususnya Inggris.  Walau begitu Bahasa Indonesia tidak perlu berkecil hati berhadapan dengan Bahasa Inggris di Asia Tenggara. Dari sejarah bahkan Bahasa Melayu tidak takluk terhadap Bahasa Arab yang pada masa keemasannya ketika sampai di Asia Tenggara, penyebaran Islam pun tidak menggunakan mutlak Bahasa Arab, tetapi juga menggunakan Bahasa Melayu.